Kematian, dari sudut pandang seorang nihilis
Sebagai seorang agnostik, banyak yang bertanya, kemana saya akan pergi setelah meninggal? Apakah kamu tidak takut perdengan kematian?
Bagi saya, sebelum menjawab pertanyaan itu, saya harus menjawab pertanyaan lain: Kenapa saya harus pergi ketempat lain, setelah saya meninggal?
Bagi saya, dengan berpikiran bahwa saya akan pergi ke tempat lain, berarti saya mengimplikasikan bahwa diri saya itu abadi.
Tapi tidak ada yang abadi di dunia ini.
Semua benda yang tercipta pasti akan hancur.
Kita bisa mencoba menganalogikan kematian dengan batu.
Kita namakan sebuah batu [A].
[A] tentu saja memiliki berbagai macam ciri, contoh [A] berbentuk bulat, kasar, memiliki beberapa lubang, posisi atom, dan lain-lain
Pukul [A] tersebut dengan palu, maka [A] akan hancur menjadi pasir.
Apapun caranya, pasir tersebut tidak akan bisa menjadi [A] lagi, dimana posisi setiap atom, lubang dan bentuk sama.
Yang terjadi adalah, konsep, ide, aturan, atribut, properti, dasar yang menjadikan batu tersebut [A] sudah musnah.
Saya berpikir bahwa hal yang sama terjadi ketika saya mati.
Saya akan hilang, musnah, hancur, tidak ada, kosong.
Mungkin sulit membayangkan bagaimana rasanya tidak ada.
Tapi satu hal yang pasti, saya tidak bisa merasakan apa-apa setelah mati. Tidak ada lagi rasa tidak adalagi rasa kesepian, sedih, kesal, ketakutan, bahagia. Tidak bisa mengingat apapun.
Mungkin kamu bisa mencicipi sedikit rasanya kematian yang saya deskripsikan dengan mengingat apa yang terjadi sebelum lahir. Kira-kira seperti itu rasanya, kosong karena tidak bisa mengingat apa-apa.
Bagi saya, Manusia terlalu insignifikan untuk hidup abadi. Manusia terlalu kecil untuk memiliki arti atau tujuan tertentu.
Mungkin ada yang bertanya lagi:
Untuk apa hidup berbuat baik kalau pada akhirnya mati dan menjadi tidak ada? tidak kah pemikiran itu mengimplikasikan bahwa hidup ini menjadi tidak ada maknanya?
Bagi saya, karena hidup ini kosong, tidak ada maknanya, Maka saya bisa isi kekosongan itu dengan apapun yang saya mau.
Kenapa saya berbuat baik, karena dari hati saya yang paling dalam, saya ingin berbuat baik. Saya berbuat baik bukan karena takut hukuman atau larangan.
Saya berbuat baik karena ingin mengisi kekosongan makna hidup tersebut dengan kebaikan.